Kota Malang secara topografi mempunyai karakteristik yang khas. Selain terbelah oleh beberapa sungai besar juga dikelilingi oleh sejumlah gunung yang masih aktif. Hal inilah yang setidaknya mempengaruhi banyaknya potensi bencana di Kota Malang.
Berdasarkan Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) yang dipublikasikan BNPB tahun 2013, Kota Malang menempati urutan ke 449 nasional dengan skor 114 dan masuk kategori risiko sedang. Lazimnya wilayah yang berbukit, dilewati beberapa sungai dan posisi kota yang diapit gunung gunung berakibat ancaman longsor, angin kencang hingga gempa vulkanik mengintai warga Kota Malang. Bersumberkan data dari Pusat Pengendalian dan Operasi (Pusdalops) PB Kota Malang, tercatat 110 kejadian bencana di 2016, 192 kejadian di 2017 dan 114 kejadian per Agustus 2018. Selama 3 tahun tersebut terungkap 3 jenis bencana yang kerap terjadi yakni tanah longsor, kebakaran dan pohon tumbang.
Lebih jauh Pusdalops PB merincikan data tahun 2016 kejadian longsor tercatat 57 kali, 19 kali kebakaran dan 28 pohon tumbang. Sisanya berupa gempa dan puting beliung dalam jumlah yang kecil.
Sementara itu di 2017 tercatat 74 kali tanah longsor, 34 kali kebakaran dan 42 kali pohon tumbang. Sedikit terdapat kenaikan dibanding tahun 2016.
Sedangkan data per Agustus 2018 Pusdalops mencatat 37 longsor, 23 kebakaran dan 31 kali kejadian pohon tumbang. Diprediksi jumlah kejadian ini akan terus bertambah seiring perubahan iklim dan cuaca.
Dalam laporannya, Pusdalops PB juga merinci jumlah kerugian akibat bencana. Di tahun 2016 terhitung kerugian mencapai Rp. 2.3 miliar. Tahun 2017 sejumlah Rp. 6,1 miliar dan per Agustus 2018 tercatat Rp. 4,1 miliar lebih. J. Hartono Kepala Pelaksana BPBD Kota Malang saat ditemui menyebutkan, selain unsur topografi, penyebab longsor juga akibat faktor cuaca dan perkembangan kota.
“Tanah yang longsor umumnya di tebing sungai. Selain akibat curah hujan juga karena kepadatan pori-pori tanah berkurang akibat permukiman dan gerusan air limbah keluarga” ungkapnya. Hartono juga mengatakan rata-rata kejadian kebakaran disebabkan oleh kelalaian maupun korsleting. “Banyak kejadian kebakaran akibat korsleting listrik. Banyak kabel sudah berusia tua sehingga tidak sanggup menahan beban aliran listrik. Ada pula yang lupa mematikan bara api hingga sembarangan buang puntung rokok” imbuh Hartono.
Untuk kejadian pohon tumbang, Hartono menyebut pihaknya selalu berkoordinasi dengan DLH dalam memonitor potensi kejadian baik dengan operasi rutin maupun pemangkasan. Saat ditanya akan ancaman gempa, pria penyuka musik jazz ini mengakui bahwa kejadian gempa Kota Malang terbilang kecil. Pusat gempa lebih banyak berada di laut selatan Kabupaten Malang. Meski demikian potensi gempa tetap ada sehingga membutuhkan kewaspadaan.
“Kejadian gempa tercatat antara 1 hingga 2 kali di tahun 2017 dan 2018. Namun Kota Malang hanya merasakan getarannya saja, tak ada laporan kerusakan dari warga” aku Hartono. BPBD sebagai wakil pemerintah dalam urusan penanganan bencana tentunya mempunyai road map mitigasi bencana. Hal terpenting dari 3 fase penanganan bencana adalah pencegahan. Untuk itu Hartono pun mengaku pihaknya hingga kini terus menggalakkan mitigasi berbasis kemasyarakatan selain upaya rutin yang digelar oleh BPBD.
“Selain sekolah aman bencana, kami juga membentuk kelurahan tangguh serta tim monitoring. Hal ini untuk memberikan peran yang luas bagi warga dalam pencegahan bencana” tutur Hartono. Tanpa bermaksud mengecilkan andil penanganan kedaruratan dan pasca bencana, Hartono lebih menekankan fungsi pencegahan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. “Jika kita kuat dalam pencegahan dan kesiapsiagaan, saya yakin kita bisa menekan jumlah bencana dan nilai kerugiannya” pungkas Hartono.(Zie)