BPBD Kota Malang | Awan hitam mulai berarak bergelayut di langit Kota Malang. Udara panas diselingi tiupan angin yang cukup kencang. Tanda-tanda alam seperti ini merupakan sinyal bahwa musim pancaroba tengah melewati dan tak lama lagi hujan akan turun.
Datangnya musim hujan takkan pernah lepas dari bahasan hujan lebat, genangan air, tanah longsor, angin kencang sampai pohon tumbang. Ini akibat stigma di masyarakat yang menempatkan musim hujan identik dengan jenis bencana tersebut. Seolah menjadi agenda rutin, tiap hujan turun ada saja kasus kejadian bencana yang menimpa Kota Malang. Dari catatan Pusdalops BPBD Kota Malang, tahun 2018 lalu tercatat 222 kasus bencana. 14 kasus diantaranya genangan air, angin kencang 12 kasus, tanah longsor 49 kasus dan 54 kali pohon tumbang. Ini berarti 58 persen dari total kejadian adalah bencana hidrometeorologi. Dampak dari bencana tersebut 3 orang meninggal, 10 orang luka-luka dan 65 orang lainnya harus mengungsi ke tempat lain. Kerugian akibat bencana mencapai Rp. 6,6 milyar !
Tahun 2019 sementara tercatat 185 kejadian, diantaranya 41 kasus tanah longsor, 10 kasus genangan air, 17 kali angin kencang dan 18 kali pohon tumbang atau 46,49 persen dari total kejadian. Fantastisnya, kerusakan dan kerugian menyentuh angka Rp. 10,695 miliar.
Sebagai insan yang memiliki keyakinan, kita semua paham bencana adalah musibah yang tak bisa dihindari. Sebagian menyebut bencana adalah takdir yang harus diterima dengan lapang hati dan bersabar atas cobaan yang datang. Namun dari sudut keilmuan, bisakah bencana dicegah? Analis Bencana BPBD Kota Malang Mahfuzi mengatakan, dalam proses panjang perjalanan peradaban manusia, selalu diimbangi dengan adanya penemuan teknologi yang memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Sejak ditemukannya roda, mesin uap, alat komunikasi hingga formula matematis sangat membantu meringankan beban pekerjaan manusia. “Lewat kemajuan teknologi, kini bencana (hidrometeorologi) sebenarnya dapat dicegah. Namun bukan dengan konsep zero disaster, namun zero victims,” ujarnya Rabu (13/11/19) usai FGD Perjanjian Kinerja dan SAKIP di aula BPBD kemarin.
Ia menambahkan, berkembangnya ilmu hidraulika menghasilkan penemuan konstruksi bangunan air yang sejatinya berfungsi untuk mengendalikan daya rusak air (UU No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air). Seperti pembangunan waduk, bendungan, embung adalah bertujuan mengendalikan volume air agar tak terjadi banjir dan tak makan korban.
Hal yang sama dalam ilmu hidrologi, risiko bencana kekeringan akibat kemarau panjang dapat dikurangi dengan penerapan modifikasi cuaca seperti pembuatan hujan buatan meskipun memakan biaya yang tak sedikit. “Tanah longsor pun bisa direduksi risikonya dengan penerapan konstruksi revetment, bisa pula penanaman gebalan rumput. Tanah rawan longsor akibat kualitasnya yang kurang baik bisa diperbaiki dengan metode geotekstil,” imbuh pria kelahiran Banjarmasin ini.
Ekstremnya perubahan iklim membuat ekosistem penyeimbang tekanan udara menjadi berkurang yang berakibat peluang anomali cuaca seperti angin kencang atau udara makin panas membesar. “Lewat pemuliaan tanaman, bisa dilakukan rekonstruksi genetika agar didapat tanaman yang tahan panas, berakar kuat dan tahan angin kencang,” terangnya.
Lantas apakah proses mencegah bencana cukup sampai disini?
Alumni Teknik Pengairan UB ini menyebut proses pencegahan bencana tak melulu mengandalkan mitigasi struktural, namun diimbangi pula dengan kegiatan edukasi, sosialisasi maupun simulasi termasuk melakukan pantauan dan monitoring di lingkungan masing-masing. “Mitigasi non struktural bisa dengan kampanye sadar bencana. Sosialisasi di kawasan rawan bencana atau juga memantau daerah-daerah yang berpotensi bencana. Laporkan setiap ada potensi bencana sehingga sewaktu-waktu warga bisa diungsikan sebelum bencana melanda,” pungkasnya.
Pewarta : M. Says