BPBD Kota Malang | Hujan mulai turun mengguyur Kota Malang. Meski tak terlalu lebat dan bersifat lokal, namun dampaknya mulai terasa. Seperti munculnya genangan air dan beberapa lokasi dilaporkan mengalami tanah longsor.

Tanah longsor masuk dalam tiga bencana terbesar di Kota Malang selain genangan air dan angin kencang. Ketiga jenis bencana ini dikenal sebagai bencana hidrometereologi.

Meski secara statistik, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Malang menyatakan tren bencana tanah longsor mengalami penurunan, namun nilai kerugian mengalami kenaikan cukup signifikan.

Analis Bencana BPBD Kota Malang, Mahfuzi Senin (9/12/19) menyebut tahun 2017 lalu terdapat 74 kasus tanah longsor (38,5 persen dari 192 kasus), tahun 2018 turun menjadi 49 kasus (22,1 persen dari 222 kasus) dan hingga Nopember 2019 ini tercatat 43 kasus tanah longsor atau 21,4 persen dari 201 kasus bencana.

Data ini berbanding terbalik dengan nilai kerugian akibat longsor yang secara signifikan selalu mencapai miliaran rupiah.
“Tahun 2017 lalu kerugian mencapai Rp. 1.985.827.000,-. Tahun 2018 naik nyaris dua kali lipat yakni Rp. 2.739.198.600,- dan tahun ini per Nopember tercatat Rp. 1.601.531.000,-“ rincinya.

Memasuki musim hujan, Mahfuzi mengatakan potensi tanah longsor kian meningkat, khususnya saat puncak musim hujan. Menurutnya ketika musim hujan, air hujan yang jatuh menyebabkan volume air infiltrasi meningkat tajam. Dampaknya tanah menjadi jenuh air.
“Akibatnya pori-pori tanah mudah hancur dan agregasi tanah menjadi sangat lemah sehingga ketahanan geser tanah menurun. Sedikit saja ada beban dan gaya gravitasi yang menjadi pemicunya, kawasan di bawahnya bisa terkubur,” ujarnya.

Lebih jauh Mahfuzi menjelaskan saat ini kejadian tanah longsor di permukiman jauh lebih mendominasi ketimbang di lahan kosong. Seperti kawasan Polehan dan Muharto (Kelurahan Kotalama).
“Tanah longsor itu disebabkan banyak faktor, seperti topografi, iklim, perubahan cuaca, kondisi geologi atau hidrologinya dan perbuatan manusia. Pada kasus Polehan dan Muharto secara topografi berada di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) dan juga kawasan padat penduduk,” tutur alumnus Disaster Management Unsyiah Aceh ini.

Daerah hunian di dataran atau lereng yang lebih tinggi dan curam, kerawanan tanah longsor kian besar. Diperparah lagi dengan beban bangunan padat membuat daya dukung tanah merosot. Sistem drainase limbah domestik yang merembes melalui sela-sela tanah juga kerap membuat pori-pori tanah lepas.
“Bangunan juga menekan tanah secara vertikal, sedangkan air bekas mandi, cuci atau limpasan permukaan akibat hujan juga langsung dan mengalir lewat dalam tanah. Akibatnya tanah tak kuat lagi menyokong, terjadilah longsor,” tegasnya.

Selain di wilayah DAS, diakui pula olehnya, kini potensi longsor juga menyebar merata di seluruh kecamatan di Kota Malang. Selain karena kondisi topografi serta geologi lahan di Kota Malang, tingginya intensitas aktivitas manusia juga dituding penyebab terjadinya longsor.
“Dalam data yang dimiliki BPBD, tahun 2019 ini terdapat 10 kasus longsor di Kecamatan Sukun, 6 kasus di Lowokwaru, 5 kasus di Klojen, 11 kasus di Blimbing dan 12 kasus di Kedungkandang. Hal ini penting untuk diperhatikan,” imbuhnya.

Atas dasar itu, pria penyuka seafood ini lantas mewanti-wanti warga Malang untuk memperhatikan tanda-tanda alam sebagai indikator tanah akan mengalami longsor, agar selanjutnya bisa mewaspadai dan melaporkan ke BPBD
“Misalnya ada pepohonan atau bangunan yang miring. Lereng tanah retak-retak, munculnya aliran air baru, sedangkan aliran air yang lain mati. Rembesan air semakin deras, dinding rumah retak-retak atau lantainya ambles, adanya suara gemuruh disertai angin dan banyaknya rongga dalam tanah. Jika hal ini terpenuhi segera lapor.” pungkasnya.

Pewarta : Al Banjari
Editor : Wahyu
Uploader : Div Endless

Loading

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *