Beragam bencana masih menghantui Kota Malang. Dalam dua tahun terakhir pemberitaan media dihiasi kejadian bencana. Kejadian tanah longsor, angin kencang dan genangan air bahkan gempa bumi turut ramai dibicarakan.
Banyaknya bencana ini dipengaruhi oleh letak geografis Kota Malang yang dikelilingi oleh beberapa gunung, dibelah sungai serta berada pada lempeng geologi yang sewaktu-waktu bisa bergeser kapan saja.
Faktor ini tentu saja membawa konsekuensi dimana beberapa lokasi masuk zona berbahaya jika terjadi erupsi gunung berapi, tergenang hingga ketinggian tertentu jika diterjang banjir, mengalami degradasi volume tanah jika dilanda longsor, ditimpa pohon tumbang jika angin kencang berhembus bahkan mengalami getaran hebat jika diguncang gempa berkekuatan besar.
Menurut data Pusdalops PB Kota Malang, tercatat selama 2017 telah terjadi 192 kali kejadian. Dari kejadian tersebut, 53 kali merupakan tanah longsor dan 13 kali genangan air. Sedangkan tahun 2018 lalu, tercatat 223 kejadian dengan 49 kejadian tanah longsor dan 14 kali genangan air. Data kejadian terpaut tidak jauh berbeda ini patut mendapat perhatian serius.
Sebuah studi yang dilakukan Universitas Gajah Mada pada tahun 2017 lalu menyebut puluhan kawasan Kota Malang berisiko terdampak bencana. Studi ini memastikan pula risiko bencana menyebar merata di lima kecamatan.
Untuk jenis bencana tanah longsor, wilayah Jalan Pelabuhan Ketapang, Jalan Satsuit Tubun, Sepanjang Kali Bango, Kelurahan Polehan RT 01, 06, 09 , Jodipan, Samaan, Ksatrian, Bareng, Rampalcelaket RT 02, 03, 04, Kiduldalem RT 04, 06, 08, merupakan kawasan rawan longsor. Tak hanya itu, hampir kawasan di sepanjang Sungai Brantas Dinoyo juga berisiko terdampak tanah longsor.
Urusan tanah longsor tak cukup sampai di sini. Kerugian yang diderita korban longsor pada tahun 2017 mencapai Rp. 2,2 milyar, sedangkan tahun 2018 nyaris menyentuh angka Rp. 2,75 milyar!
Akan halnya banjir, kawasan Galunggung, S. Parman dan Borobudur kadung dicap oleh warga sebagai wilayah yang kerap terjadi genangan air. Namun dalam studi internal tahun 2018 lalu, BPBD mengklaim telah memetakan kawasan rawan banjir lainnya. Wilayah tersebut adalah Jalan Klampok Kasri, Jalan Bukit Barisan, Jalan Dieng, Kelurahan Bareng, depan Araya, Sawojajar, Madyopuro Gang IV, Perempatan ITN, Bandulan Jalan Industri barat, Pandanwangi, Taman Kalisari, Pasar Blimbing dan Tanjungrejo sebagai zona merah banjir dengan tingkat kerawanan tinggi.
Meski risiko bencana cukup tinggi, namun warga tetap saja mendiami kawasan tersebut. Tak pelak tiap jelang musim hujan warga selalu diliputi was-was, apalagi saat hujan deras turun.
Terkait kondisi ini, Plt. Kepala Pelaksana BPBD Kota Malang, Handi Priyanto mengaku pihaknya telah mengambil langkah-langkah preventif. Masyarakat terus dihimbau untuk waspada khususnya yang mendiami kawasan rawan bencana. Masyarakat butuh induksi agar terlibat secara holistik dalam penanganan bencana.
“Cukup dengan membangun kewaspadaan di lingkungan masing-masing. Aktifkan kelurahan tangguh, selalu monitoring jika ada potensi bencana sehingga bila terjadi bencana seluruh komponen masyarakat sudah siap,” terang Handi, Senin (4/2/2019).
Di lain pihak, menurut Handi peningkatan jumlah kejadian cukup signifikan karena dipengaruhi empat faktor utama yakni cuaca (eksternal), budaya (internal), demografi dan teknis. Pesatnya pertumbuhan kota dengan magnetnya membuat migrasi ke Kota Malang meningkat, ditambah daya dukung alam (secara teknis) menurun akibat adanya perubahan iklim. Hal ini kian parah ketika budaya buang sampah sembarang mengakar kuat di masyarakat.
“Faktor ini yang coba kita minimalkan. Dengan tata guna lahan sesuai peruntukan, perbaikan secara mekanis struktur daerah yang berisiko dan meningkatkan budaya sayangi alam diharapkan bisa meminimalkan kejadian tanah longsor dan banjir,” pungkas Handi
Pewarta : Mahfuzi
Editor : Aziz Wijaya