BPBD Kota Malang | Indonesia secara klimatologis memiliki dua musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim ini secara periodik datang dan pergi enam bulan sekali. Pola ini pula yang mempengaruhi perubahan ekosistem, lingkungan, sosial, budaya hingga kejadian bencana.
Kota Malang adalah kota dengan seribu daya tarik. Mulai dari sebutan kota pendidikan, kota wisata, kota kuliner maupun kota perdagangan dan industri. Namun kini kota yang memiliki keindahan alam dan struktur budaya yang memikat banyak wisatawan dari luar, sedikit terganggu dengan genangan air (atau banjir) di beberapa titik saat hujan datang mengguyur.
Fenomena genangan air (atau banjir) lambat laun menjadi acara rutin tiap hujan turun. Di beberapa titik air menggenang setinggi lutut orang dewasa. Aktivitas warga pun terganggu. Muncul anekdot yang menyebut hujan tak lagi dianggap berkah melainkan jadi momok saat guyuran kian deras.
Tiap hujan lebat turun, kawasan Jalan Galunggung, Jalan S. Parman, Jalan Suhat dan Jalan Borobudur dipastikan genangan air muncul. Tahun lalu, BPBD Kota Malang mengklaim telah memetakan kawasan rawan banjir lainnya. Wilayah tersebut adalah Jalan Klampok Kasri, Jalan Bukit Barisan, Jalan Terusan Dieng, Kelurahan Bareng, depan Araya, Sawojajar khususnya Jalan Danau Maninjau, Danau Kerinci dan Jalan Danau Toba, Madyopuro Gang IV, Perempatan ITN, Kawasan Bandulan, Jalan Industri Barat, kawasan Pandanwangi, Taman Kalisari, kawasan Pasar Blimbing dan Tanjungrejo sebagai zona merah banjir dengan tingkat kerawanan tinggi.
Di lain pihak, kemarau yang berkepanjangan adalah salah satu efek dari perubahan iklim yang kini mulai nyata dirasakan. Tingginya angka penguapan disertai radiasi matahari dan kelembaban yang rendah memicu dampak lain seperti bencana kebakaran, gelombang udara panas hingga kekeringan.
Kekeringan merupakan salah satu bencana yang ditunjukkan dengan berkurangnya ketersediaan air terhadap kebutuhan. Kekeringan merupakan salah satu jenis bencana alam yang terjadi secara perlahan, berlangsung lama sampai musim hujan tiba, berdampak sangat luas dan bersifat lintas sektoral seperti ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dan lainnya.
Beruntung Kota Malang tak mengalami bencana kekeringan. Kekeringan yang diartikan mengalami kesulitan memperoleh pasokan suplai air bersih hampir tak pernah ada. Meski demikian debit atau muka air tanah bisa saja turun saat kemarau. Inilah kekeringan hidrologis yang sebenarnya terjadi tanpa kita sadari.
Dalam ilmu hidrologi dikenal dua macam kekeringan, yakni kekeringan meteorologis dan kekeringan hidrologis. Jika hujan jarang turun, radiasi matahari meningkat disertai suhu udara meningkat maka terjadi kekeringan meterologi. Akibatnya kelembaban tanah menurun, kering dan retak-retak. Namun jika kekeringan meterologi berlanjut lebih lama, maka hilangnya air dari tanah akan merembet pada kekeringan hidrologis yang umum dicirikan dengan menurunnya elevasi muka air di kolam, danau, sungai bahkan air tanah (groundwater).
Betapa kejam dampak perubahan iklim terhadap kondisi lingkungan. Saat hujan ketakutan, pas kemarau pun menderita. Itulah mengapa, anomali ini akan merubah semua perilaku cuaca yang berujung implikasi besar pada pola kehidupan manusia. Adakah cara antisipasinya?
Menurut pakar ITB Mohajit (2014), selama ini solusi penanganan banjir lebih pada upaya mempercepat surutnya genangan air. Dengan kata lain bagaimana air banjir dapat dibuang menuju saluran alam (sungai) dan laut, ini berarti air banjir terbuang sia-sia.
Sementara itu, pola penanganan banjir berbasis struktural seperti pembuatan embung, waduk, bendungan, plengsengan, sudetan hingga pengerukan dasar sungai butuh cost yang tak sedikit. Sebagai alternatif, sumur injeksi dapat dengan mudah dibangun dan berbiaya rendah.
Menurut Mohajit pula, teknologi sistem injeksi tak butuh lahan yang luas. Cukup dengan memilih wilayah yang sering kebanjiran dan plot-lah beberapa sumur injeksi.
Sedangkan menurut dosen UB Muhammad Bisri (2014), sumur injeksi adalah sumur gali yang berbentuk lingkaran atau segi empat dengan kedalaman tertentu. Sumur injeksi bisa dibangun dengan diameter minimum 1 meter dengan kedalaman 6 meter atau bisa pula dengan variasi ukuran tergantung struktur geologi tanah setempat, muka air tanah dan seberapa besar debit genangan yang akan direduksi.
Sumur injeksi atau Injection Well ini berfungsi untuk mengurangi, menyimpan atau menabung air dan konservasi lingkungan. Untuk penanganan banjir jangka panjang diperlukan adanya sumur injeksi. Sumur injeksi bisa digali lebih dalam lagi mencapai lebih dari 6 meter dari sumur resapan yang sudah mulai dibangun di sejumlah titik.
Pola operasi sumur injeksi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada saat hujan turun, butiran air dalam curah hujan akan mengumpul dan mengalir secara gravitasi menuju outlet menjadi debit air hujan. Kemudian debit ini mengarah masuk ke dalam sumur injeksi dan mengumpul menjadi satu dalam bentuk storage.
Sumur injeksi berprinsip sama dengan sumur resapan yakni mengembalikan sejumlah air ke dalam tanah, hanya saja bedanya debit air yang dimasukkan di sumur injeksi lebih banyak.
Pun demikian saat kondisi musim kemarau, dimana tinggi muka air tanah turun akibat debit air tanah menipis. Dengan melakukan konservasi air lewat injeksi air di saat musim hujan akan memberikan storage (penyimpanan) debit air. Dengan sistem ini kasus penurunan muka air tanah takkan terjadi lagi di musim kemarau dan kebutuhan suplai air baku dapat terpenuhi dengan baik.
Inilah tujuan konservasi air lewat pemanfaatan sumur injeksi. Selain menyuntikkan air banjir sebagai upaya penanganan bencana banjir, tetapi juga untuk menabung air di cekungan air bawah tanah sebagai upaya mitigasi bencana kekeringan.
Andaikan kawasan banjir seputar Jalan Galunggung, Bukit Barisan dan Terusan Dieng memiliki luas 50 hektar. Diasumsikan dihuni oleh 2000 KK, koefisen permeabilitasnya 1,5×10-4 m/dtk. Komposisi luas halaman per KK 40% dengan C=0,1, luas atap per KK 40% dengan C=0,95. Luas aspal per KK 20% dengan C= 0,95. Asumsi kecepatan aliran 1 m/det dan waktu (t) pengaliran hingga ke sumur = 2 jam, maka dengan perhitungan didapat debit yang keluar kawasan tanpa sumur injeksi = 11 m3/det. Jika menggunakan sumur injeksi maka debitnya menjadi 4,16 m3. Ini berarti ada pengurangan debit banjir sebesar 62%.
Pada akhirnya dibutuhkan kesungguhan dan kajian lebih detil terkait pemanfaatan sumur injeksi sebagai upaya penanganan banjir sekaligus mitigasi kekeringan hidrologis. Hitung-hitungan biaya konstruksi dengan reduksi kerusakan dan kerugian akibat bencana banjir harus pula diukur agar didapat formula yang tepat. Semoga dapat menambah wawasan alternatif penanganan bencana banjir di Kota Malang.
Pewarta : Mahfuzi
Editor : Very