BPBD Kota Malang | Hari-hari belakangan ini temperatur udara Kota Malang terasa panas. Tak hanya siang hari, saat malam pun banyak yang mengeluh suhu udara yang membuat keringat tubuh mengucur. Awan gelap yang menggantung dan diprediksi bakal menurunkan hujan nyatanya tak kunjung tiba.
Setuju atau tidak, inilah dampak dari perubahan iklim (climate change).
Analis Bencana BPBD Kota Malang, Mahfuzi mengatakan dalam beberapa studi yang dilakukan para ahli, perubahan iklim yang terjadi bermula dari peningkatan suhu bumi dalam 50 tahun terakhir. Pencatatan suhu bumi yang dilakukan sejak 1800 an nyatanya kini mencatat suhu terekstrem sepanjang sejarah.
Dan dalam setiap peningkatan 1 derajat panas bumi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap kondisi alam dan lingkungan di belahan dunia.
“Era tahun 90-an, Kota Malang masih berselimutkan kabut. Udara dingin khas pegunungan masih bisa dirasakan oleh seluruh warga Malang hingga jelang siang hari. Hawa pun berangsur sejuk meski di tengah hari,” tutur Mahfuzi.
Mahfuzi menambahkan, sebagai negara tropis yang berdekatan langsung dengan garis equator, Indonesia hanya memiliki dua jenis musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim ini datang dan pergi setiap enam bulan sekali.
“Tapi kini terjadi pergeseran, kemarau makin panjang lebih dari 6 bulan. Sedangkan hujannya turun tak lebih dari 5 bulan saja,” terangnya.
Dan tak hanya itu, dulu di beberapa sungai dan anak sungai yang membelah Kota Malang masih menyisakan debit air meski saat itu tengah menjalani musim kemarau. Tak ada yang namanya udara panas, dan tak ada sumur warga yang mengalami kekeringan atau turunnya debit. Namun kini, kondisi justru terbalik.
Dalam lima tahun terakhir, BPBD Kota Malang mencatat kenaikan kasus kejadian bencana. Tahun 2016 tercatat 106 kasus kejadian, tahun 2017 sebanyak 192 kasus dan tahun 2018 naik menjadi 222 kasus. Data menyebut bencana hidrometeorologi memiliki peran paling dominan seperti tanah longsor, genangan air, banjir, angin kencang, pohon tumbang hingga kekeringan hidologis.
“Hasil studi para ahli mengarah pada kesimpulan, bahwa bencana dipengaruhi dua hal yakni populasi dan perubahan iklim,” imbuh alumnus disaster management Unsyiah Aceh ini.
Isu besar terkait perubahan iklim bukan lagi menjadi konsumsi dunia internasional, namun sudah menjadi pembicaraan di tingkat regional hingga kota. Bahwa pentingnya adaptasi terhadap perubahan iklim sudah saatnya dilakukan.
Adaptasi iklim sangat penting dalam upaya mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim. Adaptasi perubahan iklim harus dilakukan secara masif dan sistematis dalam suatu ekosistem (baca: komunitas atau masyarakat) yang mana dapat dilakukan baik secara individual, kelompok hingga masyarakat dalam skala luas.
“Adaptasi itu menurut saya adalah upaya kita untuk menyesuaikan diri terhadap proses perubahan iklim yang ada. Bisa dengan membatasi dampak akibat perubahan iklim, atau malah dengan memanfaatkan peluang dari perubahan iklim itu sendiri,” tambahnya.
Mahfuzi mengambil contoh penyebab pohon tumbang di Kota Malang selain diterpa angin kencang juga akibat akar atau batang pohon yang lapuk. Terdapat 6 jenis pohon yang sering tumbang. Yakni pohon Ceri (Muntingia calabura), Sepatu Dea (Spathodea), Trembesi (Albizia saman), Kecrutan (Spathodea campanulate), Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Sengon (Paraserianthes falcataria).
“Adaptasinya bisa dengan memilih tanaman yang memiliki akar yang kuat dan tahan terpaan angin kencang,” sambung Mahfuzi.
Akan halnya fenomena banjir di Kota Malang, Mahfuzi menjelaskan dapat diantisipasi dengan memahami sifat fisik air itu sendiri. Hierarkinya air akan menuju tempat yang lebih rendah, untuk itu jangan arah alirannya jangan sampai terhalangi.
“Saluran drainase harus bebas sampah. Sedimentasi pun seminim mungkin. Agar infiltrasi lancar, jangan tutup halaman dengan cor semen serta buatkan sumur resapan atau biopori,” ujarnya.
Dampak adanya perubahan iklim telah nyata di depan mata. Cuaca yang kian tak menentu, dan bencana hidrometeorologi yang meningkat membutuhkan aksi nyata untuk meredam atau mengurangi dampak agar tak makin mempengaruhi kehidupan manusia di masa mendatang.
“Aksi itu bermacam-macam. Dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Misalnya penggunaan tumbler sebagai wadah minum. Bersepeda juga ikut berkontribusi mengurangi kadar CO2, bahkan dengan menanam pohon di halaman serta efisiensi energi dengan mematikan lampu di siang hari. Intinya perubahan besar dimulai dari hal-hal yang kecil,” tutupnya.
Pewarta : Mahfuzi
Editor : Yusufi