BPBD Kota Malang | Memasuki minggu ketiga Nopember, tanda-tanda musim hujan belum juga tampak. Meski diselingi gerimis nyatanya intensitasnya tergolong kecil. Hal ini tentu jadi tanda tanya, mengingat prediksi sebelumnya hujan turun di awal Nopember.
Cukup banyak yang berharap hujan segera turun. Selain untuk pengisian sumur dan budidaya pertanian, warga juga berharap hujan dapat mengusir hawa panas dan debu.
Menurut BMKG, molornya musim hujan akibat rendahnya suhu permukaan laut daripada suhu normalnya (antara 26 – 27 derajat celcius) di perairan Indonesia bagian selatan dan barat. Dampaknya pembentukan awan berkurang dan hujan pun tak kunjung datang termasuk di Kota Malang.
Analis Bencana BPBD Kota Malang, Mahfuzi menyatakan secara keilmuan hujan bisa saja “dipaksa” turun dengan perlakuan khusus sebelumnya. Metode ini dinamakan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau biasa disebut hujan buatan.
“Hujan buatan dilakukan jika memang sangat dibutuhkan dalam kondisi tertentu. Misalnya untuk mengatasi kebakaran lahan, polusi udara, menurunkan suhu udara bahkan pengisian debit air bagi waduk atau sungai,” tutur Mahfuzi, Kamis (21/11/19).
Hujan buatan lazim dilakukan untuk meningkatkan kuantitas curah hujan di suatu wilayah yang mengalami krisis hujan atau cuaca ektrem. Hujan buatan dilakukan melalui penyemaian garam atau cloud seeding pada awan yang dipilih.
Banyak faktor yang harus diperhatikan sebelum memulai modifikasi cuaca. Seperti bibit awan yang minimal 80 persen mencukupi, kadar air yang terpenuhi serta tak ada kandungan asap di udara.
“Sebelum penyemaian garam, perlu dipastikan hal-hal tersebut. Ini agar proses hujan buatan tak sia-sia,” terang Mahfuzi.
Ketika ditanya apakah teknologi modifikasi cuaca layak diberlakukan di Kota Malang, alumni Teknik Pengairan UB ini mengatakan tergantung urgensi dan hasil kajian kebutuhannya. Seperti diketahui jumlah Hari Tanpa Hujan (HTH) bulan Oktober di Kota Malang tercatat 30 HTH, sedangkan selama Nopember teridentifikasi sebanyak 13 HTH. Kondisi ini membuat Kota Malang terasa panas dan kering.
“Kalau pertimbangannya untuk menjaga suplai debit ke waduk yang notabene berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, hujan buatan bisa direkomendasikan,” ujarnya.
Meski begitu, Mahfuzi menilai dalam pelaksanaan hujan buatan bisa terkendala oleh beberapa hal.
“Pertumbuhan awan dan kecepatan angin harus dilihat. Kondisi kadar air dalam awan serta apakah ada kandungan asap juga harus diperhatikan. Penggunaan Kalsium Oksalat atau kapur tohor bisa jadi pertimbangan,” terang penyuka musik jazz ini.
Melihat kondisi iklim tahun ini yang mengalami anomali, Mahfuzi berujar perlunya menjaga kelestarian lingkungan sebagai upaya mengurangi lajunya perubahan iklim. Panjangnya musim kemarau adalah bukti gagalnya manusia dalam menjaga alam.
“Meski cuaca bisa dimodifikasi namun tentunya butuh ongkos yang sangat besar untuk satu kali operasi hujan buatan. Kampanye sadar lingkungan sejak dini dapat meminimalkan perubahan iklim ektrem di masa mendatang,” tutupnya.
Pewarta : Al Banjari
Editor : Very