Kota Malang dahulu dikenal sebagai kota idaman dengan seabrek keunggulan. Kota yang berhawa dingin khas dataran tinggi plus indahnya topografi kota yang dipadupadankan dengan vegetasi, lansekap dan budaya.

Namun kini, seiring tingginya pertumbuhan kota, permasalahan demi permasalahan datang menghampiri, diantaranya adalah bencana banjir (genangan air). Banjir yang terjadi tentu merepotkan banyak pihak, selain menimbulkan kerugian materiil bahkan tak jarang berujung maut.

Ya, kita tentu dibuat melongo. Betapa tidak, masak sih kota dengan ketinggian mencapai 500 mdpl bisa mengalami banjir dan genangan?

Kawasan Jalan Galunggung, S. Parman dan Borobudur kini dikenal warga sebagai wilayah yang kerap terjadi genangan air. Wilayah lainnya adalah Jalan Klampok Kasri, Jalan Bukit Barisan, Jalan Dieng, Kelurahan Bareng, depan Araya, Sawojajar, Madyopuro Gang IV, Perempatan ITN, Bandulan Jalan Industri barat, Pandanwangi, Taman Kalisari, Pasar Blimbing dan Tanjungrejo adalah zona merah banjir dengan tingkat kerawanan tinggi.

Ada banyak faktor penyebab banjir, sebut saja drainase kota yang kurang ideal, tingginya pertumbuhan penduduk (demografi), adanya perubahan musim (climate change), berkurangnya daerah resapan, meluasnya permukiman, penggunaan lahan (land use) yang tak terkontrol hingga budaya warga yang suka buang sampah sembarangan.

Namun, bukankah setiap masalah ada solusinya ?

Benar, penanganan masalah banjir harus dilakukan secara komprehensif artinya secara menyeluruh dan holistik. Pembenahan struktural sudah mendesak untuk dikerjakan, penggunaan biopori, penggunaan paving untuk land covering perumahan, sudetan, pengerukan sedimentasi saluran buang hingga penanganan jangka panjang yakni pembuatan embung.

Di Kota Jogjakarta, ada daerah yang bernama Langensari yang dulunya merupakan langganan banjir. Namun kini berkat penanganan yang tepat kawasan tersebut bebas dari banjir dan di hilir kawasan disulap menjadi kolam tampungan sementara (embung) jika terjadi banjir.

Embung yang dibuat tahun 2015  lalu itu dilirik sebagai solusi penanganan banjir menahun yang mendera wilayah tersebut. Jika sebelumnya ketinggian banjir bisa mencapai 1,5 meter kini tinggi air hanya belasan senti saja. Itupun terjadi hanya jika hujan besar saja !

Sekretaris BPBD Kota Malang yang sempat bertandang ke Langensari, Jum’at (22/03/2019) mengatakan permasalahan banjir Langensari serupa dengan yang ada di Kota Malang. Tingginya urbanisasi memicu meluasnya permukiman.

“Akhirnya tanah resapan berkurang, saluran drainase menyempit dan saat hujan deras datang banjirlah daerah tersebut. Dan itu berlangsung tiap tahun,” tuturnya.

Oky menyebut pola penanganan banjir ini bisa diterapkan di Kota Malang. Meski bukan solusi satu-satunya, namun tak ada salahnya dilakukan kajian terlebih dahulu.

“Dibikin masterplan-nya saja dulu. Selain embung kan juga bisa dengan pengerukan, biopori, pelebaran saluran dan lainnya,” imbuhnya.

Meski tak menampik pembuatan embung akan banyak menyedot anggaran pembebasan lahan, namun Oky menegaskan hal itu tak seberapa dibanding kerugian materiil dan non materiil yang dialami selama ini.

“Kini tinggal goodwill dari pemerintah saja. Mau apa enggak,” tutupnya

Pewarta : Mahfuzi

Editor : Div Endless

Loading

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *