TREN TANAH LONGSOR SELALU NAIK TIAP TAHUN, APA SOLUSINYA ?

Beberapa hari ini mendung bergelayut di langit Malang. Rintikan gerimis pun mulai menyapa bumi Arema meski di saat malam terasa gerah tak kepalang. Ini pertanda tak lama lagi musim hujan akan datang. BMKG Karangploso dalam rilisnya memprediksi musim hujan akan tiba sekitar minggu kedua atau ketiga Nopember. Menilik morfologi wilayah Kota Malang yang berkontur, dibelah beberapa sungai serta tebing bukit yang cukup tinggi atau curam, maka potensi bencana di musim hujan membesar khususnya bahaya longsor.

Mahfuzi, analis bencana BPBD Kota Malang saat ditemui memaparkan data longsor selama kurun waktu 2016-2018. Menurutnya kejadian longsor cenderung naik. Tahun 2016 tercatat 52 kali, tahun 2017 dibukukan sebanyak 74 kali dan 2018 untuk sementara tercatat 40 kali.
Ada kenaikan signifikan antara 2016-2017. Trend ini bisa saja sama di 2018 jika melihat tata guna lahan dan cuaca ektrem yang mempengaruhinya” ujar Mahfuzi.

Lebih jauh dijelaskan, tanah longsor sejatinya adalah perpindahan material yang bergerak ke bawah atau keluar lereng akibat adanya ketidakseimbangan lapisan tanah sehingga labil dan mudah bergeser. Faktor dan parameter pemicu terjadinya tanah longsor banyak ragamnya. Namun para ahli sepakat mengelompokkan dalam beberapa jenis yakni: kemiringan lereng, curah hujan, tekstur tanah, regolith tanah, sesar serta kepadatan penduduk.
Maksud kepadatan penduduk disini adalah bangunan yang ada di atas tanah. Ini berkaitan dengan tata guna lahan di area yang kemiringannya curam atau di tebing sungai. Ancamannya cukup tinggi” urai pria penyuka traveling ini.

Tak jarang tanah longsor terjadi begitu cepat atau malah berjalan pelan tergantung faktor pemicunya. Namun cepat atau lambat nyatanya sangat berimplikasi negatif dengan kerugian jiwa dan materiil akibat bencana ini, baik korban jiwa meninggal, luka sampai mengungsi.

Mahfuzi kembali membeberkan, tahun 2016 lalu nilai kerugian akibat longsor mencapai Rp. 1 milyar lebih, pada tahun 2017 sebesar Rp. 2,22 milyar dan per Oktober 2018 tercatat sebesar Rp. 2,7 milyar lebih.
“Bukan tidak mungkin angka ini bakal nambah, karena musim hujan sebentar lagi masuk dan tahun 2018 tinggal 2 bulan lagi” tuturnya.

Musim hujan secara teoritis berdurasi enam bulan. Idealnya dimulai Oktober dan berakhir Maret.
Mahfuzi menambahkan, dengan berbekal prediksi BMKG akan datangnya musim hujan pertengahan bulan ini, maka perlu ditingkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan di seluruh komponen masyarakat. Perlu pula mewaspadai wilayah yang rawan ancaman longsor.
“Dari data yang kami miliki daerah yang rawan longsor diantaranya kawasan Muharto, Oro-oro Dowo, Kampung Warna-Warni, Kolonel Sugiono dan Klayatan Mergan” ujarnya.

Bentuk pertahanan diri atau pencegahan terhadap ancaman tanah longsor dapat dilakukan dengan mitigasi. Pengurangan risiko bencana longsor dalam konteks mitigasi dibedakan dalam 2 bentuk konsep, yakni mitigasi struktural dan mitigasi non struktural.

Mitigasi struktural cenderung mengupayakan pembangunan kontruksi atau perubahan fisik lingkungan yang ada, bersifat solusi teknis dan dilakukan para ahli. Mitigasi non struktural dilakukan dengan memodifikasi perilaku sosial manusia atau alam tanpa membutuhkan teknologi struktur yang dirancang.

Di akhir penjelasannya Mahfuzi menyebut bahwa Kota Malang membutuhkan pola gabungan 2 jenis mitigasi ini. Berkaca dengan anggaran pemerintah yang terbatas, tak mungkin melaksanakan mitigasi struktural sepenuhnya. Untuk itu, perlu dikombinasikan dengan non struktural.
“Bentuk non struktural bisa dengan regulasi lingkungan, merubah mindset warga di tepi sungai, sosialisasi, edukasi berkelanjutan dan peningkatan kesadaran masyarakat” pungkas Mahfuzi. (zie)

Loading

Leave a Comment

Kepala Pelakasana BPBD Kota Malang

Drs. Prayitno, M.AP.

Facebook Updates
Kantor BPBD Kota Malang
Pages view

Loading